Profile Facebook Twitter My Space Friendster Friendfeed You Tube
Septy prima anggraini Nurul Kotimah Aris Noviani Tempo Detiknews Media Indonesia Jawa Pos Okezone Yahoo News New York Times Times Forbes
Google Yahoo MSN
Bank Indonesia Bank Mandiri BNI BCA BRI Cimb Niaga BII
ibu hawa Antenatal care aniz KTI-PTK Akuntansi Komputer Media Pend.Askeb Media Bidan Pendidik Kampus
Free Template

About Me »

Foto Saya
mahasiswi D4 bidan pendidik

Sponsor Link »

My Blog Feeds »

  • the girls are very funny, they are the spirit of life, when I'm tired they always cheer me up, when I'm away I always missed them, my little daughters always laugh, I'll miss you...
  • A family is everything to me, my wive and daughters is a spirit in my life, without them life is nothing, I'll miss you...
  • A family is everything to me, my wive and daughters is a spirit in my life, without them life is nothing, I'll miss you...
  • the girls are very funny, they are the spirit of life, when I'm tired they always cheer me up, when I'm away I always missed them, my little daughters always laugh, I'll miss you...
  • A family is everything to me, my wive and daughters is a spirit in my life, without them life is nothing, I'll miss you...

Jumat, 08 Juli 2011 | 07.10 | 2 Comments

INFEKSI MENULAR SEKSUAL DALAM KESPRO


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
          Pembangunan kesehatan bertujuan untuk mempertinggi derajat kesehatan masyarakat. Demi tercapainya derajat kesehatan yang tinggi, maka wanita sebagai penerima kesehatan, anggota keluarga dan pemberi pelayanan kesehatan harus berperan dalam keluarga, supaya anak tumbuh sehat sampai dewasa sebagai generasi muda. Oleh sebab itu wanita, seyogyanya diberi perhatian sebab wanita menghadapi masalah kesehatan khusus yang tidak dihadapi pria berkaitan dengan fungsi reproduksinya, kesehatan wanita secara langsung mempengaruhi kesehatan anak yang dikandung dan dilahirkan, kesehatan wanita sering dilupakan dan ia hanya sebagai objek dengan mengatas namakan “pembangunan” seperti program KB, dan pengendalian jumlah penduduk, masalah kesehatan reproduksi wanita sudah menjadi agenda Intemasional diantaranya Indonesia menyepakati hasil-hasil Konferensi mengenai kesehatan reproduksi dan kependudukan (Beijing dan Kairo).
          Berdasarkan pemikiran di atas kesehatan wanita merupakan aspek paling penting disebabkan pengaruhnya pada kesehatan anak-anak. Oleh sebab itu pada wanita diberi kebebasan dalam menentukan hal yang paling baik menurut dirinya sesuai dengan kebutuhannya di mana ia sendiri yang memutuskan atas tubuhnya sendiri
          Infeksi menular seksual ( IMS ) merupakan salah satu masalah kesehatan reproduksi yang komplek. Berbagai IMS meningkatkan resiko penularan HIV sekurangnya tiga atau empat kali. Jenis yang paling sering ditemui di masyarakat adalah trikomoniasis, klamidia, gonore dan sifilis yang sebenarnya mudah diobati. Dari laporan rutin puskesmas dan rumah sakit pemerintah, setiap tahun terdapat sekitar 30.000 orang menderita IMS yang bisa diobati (Qomariyah dkk, 2002). Sebagian besar perempuan yang terkena IMS (50%), tidak menyadari dirinya terinfeksi sehingga berkembang menjadi penyakit kronis (FCI, 2000).
1.2  Rumusan Masalah
          Berdasarkan latar belakang di atas dapat dibuat suatu rumusan masalah yaitu:
1.      Apa definisi dalam kesehatan reproduksi?
2.      Apa yang dimaksud dengan permasalahan kesehatan reproduksi (IMS)?
3.      Apa penyebab terjadinya permasalahan kesehatan reprodukai (IMS)?
4.      Upaya apa saja yang sudah dilaksanakan pemerintah untuk mengatasi permasalahan kesehatan reproduksi (IMS)?
5.      Apa rencana untuk mengatasi permasalahan  kesehatn reproduksi (IMS)?

1.3  Tujuan
          Tujuan dari peyusunan makalah ini adalah untuk:
1.      Mengetahui definisi dari kesehatan reproduksi
2.      Mengetahui permasalahan kesehatan reproduksi (IMS)
3.      Mengetahui penyebab terjadinya permasalahan kesehatan reproduksi (IMS)
4.      Mengetahui upaya apa saja yang sudah dilaksanakan pemerintah untuk mengatasi permasalahan kesehatan reproduksi (IMS)
5.      Mengetahui rencana untuk mengatasi permasalahan  kesehatan reproduksi (IMS)


BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1  Definisi Kesehatan Reproduksi
Sehat
adalah keadaan sejahtera sempurna fisik, mental dan sosial yang utuh, bukan hanya terbebas dari penyakit dan kecacatan (WHO, 1948)
Reproduksi
adalah melanjutka keturunan pada manusia
Kesehatan Reproduksi ( Definisi ICPD )
Adalah keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial secara utuh, tidak semata-mata terbebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala hal yang berkaitan dengan sistem, fungsi dan proses reproduksinya (FCI, 1995)

2.2  Macam-macam Permasalahan dalam Kesehatan Reproduksi
Dalam pengertian kesehatan reproduksi secara lebih mendalam, bukan semata-mata sebagai pengertian klinis (kedokteran) saja tetapi juga mencakup pengertian sosial (masyarakat). Intinya goal kesehatan secara menyeluruh bahwa kualitas hidupnya sangat baik. Namun, kondisi sosial dan ekonomi terutama di negara-negara berkembang yang kualitas hidup dan kemiskinan memburuk, secara tidak langsung memperburuk pula kesehatan reproduksi wanita.
Permasalahan dalam kesehatan reproduksi meliputi:
1.      Kesehatan ibu dan anak (KIA)
Kehamilan dan persalinan merupakan penyebab kematian, penyakit dan kecacatan pada perempuan usia reproduksi di Indonesia. Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002/3, melaporkan AKI sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup (BPS, BKKBN, Depkes, MEASURE/DHS, 2003). Masih 34% perempuan indonesi tidak mendapatkan akses terhadap pelayanan kesehatan ibu (hanya 66% persalinan dibantu oleh petugas kesehtan seperti dokter dan atau bidan) (ESCAP, 2003).
Ada dua penyabab kematian ibu, penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Di Indonesia, menurut Departemen kesehatan lebih dari 90% kematian ibu disebabkan oleh penyebab langsung; komplikasi ibu (perdarahan, infeksi dan eklamsi), partus lama dan aborsi tidak aman (Depkes, 2000).
Untuk di Negara berkembang, khususnya Indonesia, kematian maternal sering kali berkaitan dengan faktor keterlambatan (Depkes, FKMUI, dan WHO, 1997) yang dikenal dengan 3 terlambat yaitu:
1)      Terlambat memutuskan untuk mencari pelayanan
2)      Terlambat mencapai fasilitas kesehatan
3)      Terlambat menerima pelayanan yang adekuat
Pada keterlambatan pertama dan kedua, yang sering kali juga sebagai faktor terbanyak, peran pengambil keputusan menjadi penting baik keputusan kapan harus mendapat pertolongan atau keputusan dalam memilih tenaga penolong. Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, masih sering ditemukan ketidakberdayaan perempuan dalam mengambil keputusan, sementara peran suami dan mertua sangat dominan (Depkes, 1997b). Akhirnya isu gender menjadi hal yang krusial.
Kesehatan anak, terutama kelangsungan hidup bayi baru lahir. Kondisi bayi dengan berta lahir rendah (BBLR) sangat dipengaruhi oleh rendahnya status gizi ibu, baik pada saathamil maupun sebelumnya. Resiko kematian pada bayi BBLR adalah 7 sampai 13 kali dibandingkan dengan bayi yang lahir dengan berat normal (Budiharsana, 2002).
2.      Kesehatan reproduksi remaja
Angka pernikahan dini (menikah sebelum usia 16 tahun) hampir dijumpai diseluruh propinsi di Indonesia. Sekitar 10% remaj putri melehirkan anak pertamanya pada usia 15-19 tahun. Kehamilan remaja akan meningkatkan resiko kematian dua hingga empat kali lebih tinggi dibandingkan perempuan yang hamil pada usia lebih dari 20 tahun. Demikian pula dengan resiko kematian bayi, 30% lebih tinggi pada ibu usia remaja, dibandingkan pada bayi yang dilahirkan oleh ibu usia 20 tahun atau lebih (GOI dan UNICEF, 2000).
Kebanyakan remaja tidak memiliki remaja tidak memilki pengetahuan yang akurat tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas. Selain itu mereka juga tidak memeliki akses terhadap pelayanan dan informasi KR, termasuk kontrasepsi. Informasi biasanya hanya diperoleh dari teman atau media, yang biasanya sering tidak akurat. Hal inilah yang menyebabkan remaja perempuan rentan terhadap kematian maternal, kematian anak dan bayi, aborsi tidak aman, IMS, kekerasan/ pelecehan seksual, dan lain-lain.
3.      Keluarga berencana
Ketersediaan dan akses terhadap informasi dan pelayanan KB, dapat mencegah kehamilan yang tidak diinginkan. Jika semua perempuan mempunyai akses terhadap kontrasepsi yang aman dan efektif, diperkirakan kematian ibu menurun hingga 50%, termasuk menurunnya resiko kesehatn reproduksi yang terkait dengan kehamilan, persalinan dan aborsi tidak aman (GOI dan UNICEF, 2000).
4.      Infeksi saluran reproduksi (ISR) dan infeksi menular seksual (IMS)
Berbagai IMS meningkatkan resiko penularan HIV sekurangnya tiga atau empat kali (UNAIDS, 1996 dalam Qomariyah dkk, 2002). Jenis yang paling sering ditemui di masyarakat adalah trikomoniasis, klamidia, gonore dan sifilis yang sebenarnya mudah diobati. Dari laporan rutin puskesmas dan rumah sakit pemerintah, setiap tahun terdapat sekitar 30.000 orang menderita IMS yang bisa diobati (Qomariyah dkk, 2002). Sebagian besar perempuan yang terkena IMS (50%), tidak menyadari dirinya terinfeksi sehingga berkembang menjadi penyakit kronis (FCI, 2000).
Perempuan menikah dan tidak menikah, sering tidak melindungi diri mereka sendiri dari IMS karena kurangnya informasi dan otonomi untuk memutuskan atau bernegosiasi sebelum berhubungan seksusl. Contoh yang umum adalah tidak mampu memeinta pasangan seksualnya menggunakan kondom.

5.      Usia lanjut
Kelompok usia lanjut juga memerlukan pelayanan KR. Menurut UNAIDS, perilaku beresiko seperti hubungan seksual lebih dari satu pasangan, IMS dan penggunaan narkoba juga terlihat dalam kelompok ini. Pelayanan KR terpadu dapat mengurangi stigma seputar masalah kebutuhan seks pada usia lanjut misalnya lewat konseling agar mereka mampu berdiskusi dengan tenaga kesehtan dan keluarganya (Shane dan Ellsberg, 2002)
6.      Kekerasan terhadap perempuan
Tanda adanya kekerasan terhadap perempuan (KTP) harus diperhatikan dan dideteksi dalam setiap komponen PKRE (pelayanan KIA, KB, KRR dan pelayanan ISR). Penderitaan perempuan karena kekerasan terjadi sepanjang siklus hidup mereka dan dalam waktu yang sama, perempuan juga menanggung beban resiko mengalami penyakit yang terkait dengan proses KR dan seksusl termasuk resiko kematian.

2.3  Permasalahan Kesehatan Reproduksi ( IMS )
            Penyakit menular seksual, atau PMS adalah berbagai infeksi yang dapat menular dari satu orang ke orang yang lain melalui kontak seksual.  Menurut the Centers for Disease Control (CDC) terdapat lebih dari 15 juta kasus PMS dilaporkan per tahun.  Kelompok remaja dan dewasa muda (15-24 tahun) adalah kelompok umur yang memiliki risiko paling tinggi untuk tertular PMS, 3 juta kasus baru tiap tahun adalah dari kelompok ini.
            Hampir seluruh PMS dapat diobati.  Namun, bahkan PMS yang mudah diobati seperti gonore telah menjadi resisten terhadap berbagai antibiotik generasi lama.  PMS lain, seperti herpes, AIDS, dan kutil kelamin, seluruhnya adalah PMS yang disebabkan oleh virus, tidak dapat disembuhkan.  Beberapa dari infeksi tersebut sangat tidak mengenakkan, sementara yang lainnya bahkan dapat mematikan.  Sifilis, AIDS, kutil kelamin, herpes, hepatitis, dan bahkan gonore seluruhnya sudah pernah dikenal sebagai penyebab kematian.  Beberapa PMS dapat berlanjut pada berbagai kondisi seperti Penyakit Radang Panggul (PRP), kanker serviks dan berbagai komplikasi kehamilan.  Sehingga, pendidikan mengenai penyakit ini dan upaya-upaya pencegahan penting untuk dilakukan.
Penting untuk diperhatikan bahwa kontak seksual tidak hanya hubungan seksual melalui alat kelamin.  Kontak seksual juga meliputi ciuman, kontak oral-genital, dan pemakaian “mainan seksual”, seperti vibrator.  Sebetulnya, tidak ada kontak seksual yang dapat benar-benar disebut sebagai “seks aman” .  Satu-satunya yang betul-betul “seks aman” adalah  abstinensia.  Hubungan seks dalam konteks hubungan monogamy di mana kedua individu bebas dari IMS juga dianggap “aman”.  Kebanyakan orang menganggap berciuman sebagai aktifitas yang aman.  Sayangnya, sifilis, herpes dan penyakit-penyakit lain dapat menular lewat aktifitas yang nampaknya tidak berbahaya ini.  Semua bentuk lain kontak seksual juga berisiko.  Kondom umumnya dianggap merupakan perlindungan terhadap IMS.  Kondom sangat berguna dalam mencegah beberapa penyakit seperti HIV dan gonore.  Namun kondom kurang efektif dalam mencegah herpes, trikomoniasis dan klamidia.  Kondom memberi proteksi kecil terhadap penularan HPV, yang merupakan penyebab kutil kelamin.
Beberapa penyakit menular seksual:
1.        Klamidia – klamidia adalah PMS yang sangat berbahaya dan biasanya tidak menunjukkan gejala; 75% dari perempuan dan 25% dari pria yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala sama sekali.
2.        Gonore – gonore adalah salah satu PMS yang sering dialporkan.  40% penderita akan mengalami Penyakit Radang Panggul (PRP) jika tidak diobati, dan hal tersebut dapat menyebabkan kemandulan.
3.        Hepatitis B – vaksin pencegahan penyakit ini sudah ada, tapi sekali terkena penyakit ini tidak dapat disembuhkan; dapat menyebabkan kanker hati.
4.        Herpes – terasa nyeri dan dapat hilang timbul; dapat diobati untuk mengurangi gejala tetapi tidak dapat disembuhkan.
5.        HIV/AIDS – dikenal pertama kali pada tahun 1984, AIDS adalah penyebab kematian ke enam pada laki-laki dan perempuan muda.  Virus ini fatal dan menimbulkan rasa sakit yang cukup lama sebelum kemudian meninggal.
6.        Human Papilloma Virus (HPV) & Kutil kelamin – PMS yang paling sering, 33% dari perempuan memiliki virus ini, yang dapat menyebabkan kanker serviks dan penis dan nyeri pada kelamin.
7.        Sifilis – jika tidak diobati dapat menyebabkan kerusakan otak dan hati yang serius.
8.        Trikomoniasis – dapat menyebabkan keputihan yang berbusa atau tidak ada gejala sama sekali.  Pada perempuan hamil dapat menyebabkan kelahiran premature.
Pencegahan: Tidak melakukan hubungan seks secara vaginal, anal dan oral dengan orang yang terinfeksi adalah satu-satunya cara pencegahan yang 100% efektif mencegah penularan sifilis melalui hubungan seksual.  Kondom dapat mengurangi tetapi tidak menghilangkan risiko tertular penyakit ini melalui hubungan seks.  Masih ada kemungkinan tertular sifilis walaupun memakai kondom yaitu melalui luka yang ada di daerah kelamin.  Usaha untuk mencegah kontak non-seksual dengan luka, ruam atau lapisan bermukosa karena adanya sifilis juga perlu dilakukan.
                                                  
 
BAB III
TINJAUAN KASUS

Ternyata kasus-kasus infeksi menular seksual (IMS, seperti GO, sifilis, hepatitis B, dll.) dan HIV/AIDS di kalangan dewasa yang bisa dilihat dari kasus IMS dan HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga tidak menjadi perhatian. Itulah yang terjadi di Pontianak. Yang disorot justru kasus IMS, juga disebut sebagai ‘penyakit kelamin’ pada remaja atau pelajar di ‘Kota Khatulistiwa’ itu. Ini yang muncul di berita “Banyak Pelajar Terinfeksi Penyakit Kelamin” (www.jpnn.com, 4/6-2011).
Disebutkan: ‘Remaja di Kota Pontianak terindikasi Infeksi Menular Seksual (IMS) atau mengalami  penyakit kelamin dua tahun terakhir cenderung meningkat. Mereka tertular akibat pergaulan bebas atau terlibat dalam dunia prostitusi.’ Ini data yang dilansir oleh Yayasan Nanda Dian Nusantara, lembaga sosial yang bergerak dibidang perlindungan anak. Data di yayasan ini menunjukkan tahun 2010 tercatat 111 anak di Kota Pontianak tertular IMS dan pada tahun 2011 naik menjadi 130.
Data ini tidak jelas. Apakah kasus 2011 merupakan kasus tahun 2010 yang ditambah dengan kasus tahun 2011? Angka ini lagi-lagi menohok remaja karena tidak ada perbandingan dengan kasus IMS pada kalangan dewasa. Akibatnya, ada kesan yang tertular IMS di Pontianak hanya remaja.
Selain itu ada pula pernyataan yang tidak akurat yaitu ‘tertular akibat pergaulan bebas atau terlibat dalam dunia prostitusi’. Ini kurang tepat karena penularan IMS tidak ada kaitannya secara langsung dengan sifat hubungan seksual (‘pergaulan bebas’ dan ‘prostitusi’), tapi terkait langsung dengan kondisi hubungan seksual yaitu remaja-remaja itu tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan laki-laki atau perempuan yang mengidap IMS. Ini fakta.
Ketua yayasan, Devi Taemona, mengatakan: ‘ …. setiap hari setidaknya dua pelajar datang ke yayasan. Mereka kebanyakan positif tertular IMS.” Tidak jelas dari mana diketahui pelajar itu sudah tertular IMS. Apakah remaja itu sudah memeriksakan diri ke dokter atau rumah sakit sehingga mereka mengetahui sudah tertular IMS, atau diperiksa di yayasan?
Kasus IMS pada remaja di Pontianak ini menunjukkan pemahaman mereka terhadap kesehatan reproduksi yang sangat rendah sehingga mereka menjadi korban.
Celakanya, pemberian informasi tentang kesehatan reproduksi kepada remaja tidak komprehensif sehingga yang diketahui remaja pun tidak akurat. Ada kesan informasi tentang seksualitas kepada remaja dibatasi dan dibalut dengan moral.
Ada anggapan kalau remaja diberikan pengetahuan yang komprehensif tentang seksualitas maka mereka akan melakukan hubungan seksual. Ini  yang ada di otak kalangan dewasa yang bisa saja bertolak dari pengalaman mereka ketika remaja.
Apakah remaja yang mengetahui masalah seksualitas secara komprehensif atau lengkap otomatis akan melakukan hubungan seksual? Tentu saja tidak!
Apakah remaja yang tidak mengetahui masalah seksualitas secara komprehensif atau lengkap otomatis tidak akan melakukan hubungan seksual? Tentu saja tidak!
Dorongan hasrat seksual pada masa remaja sangat besar dan tidak bisa diganti dengan kegiatan lain. Maka, remaja harus mendapatkan informasi yang akurat tentang seksualitas. Atau, kalangan dewasa yang di masa remajanya tidak pernah melakukan hubungan seksual pranikah memberikan cara yang mereka lakukan dahulu mengatasi dorongan seksual secara jujur.
Selama informasi tentang seksulitas tidak diberikan secara komprehensif kepada remaja selama itu pula mereka akan menjadi korban. Jumlah remaja yang tertular IMS dan HIV akan terus bertambah karena mereka tidak mengetahui cara-cara melindungi diri agar tidak tertular IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus
3.1  Penyebab terjadinya IMS di kalangan remaja
1.      Individu yang bersangkutan/ korban
          Berdasarkan kasus di atas penyebab remaja terkena IMS adalah kurangnya pengetahuan dan informasi tentang anatomi dan fisiologi reproduksi, bagaimana mencegah dan mendapatkan perlindungan jika sudah terkena IMS. Perempuan juga tidak bisa memaksa pasangannya memakai kondom.
          Seorang remaja yang sudah mengalami menstruasi yang pertama dan mimpi basah pada laki-laki maka sejak itu fungsi reproduksinya bekerja dengan segala konsekuensinya. Ketidaksiapan remaja menghadapi perubahan-perubahan dalam dirinya termasuk diantaranya menerima kenyataan dorongan seks mulai meningkat dan sulit dikendalikan, sering kurang dipahami oleh orang dewasa yang ada disekitarnya. Nilai dan norma yang ada tidak jarang menyebabkan konflik yang khas remaja, misalnya masalah masturbasi mereka tahu menurut agama itu dilarang, tetapi mereka tidak mempunyai kemampuan untuk mengelola dorongan seksnya. Akibatnya tidak sedikit remaja pria yang mempunyai masalah masturbasi.
          Situasi di atas diperburuk dengan terbatasnya akses remaja memperoleh informasi seks yang benar dan lengkap. Dalam ketidaksiapan remaja harus berhadapan dengan stimulus seks dari lingkungan, dorongan seks yang muncul dalam dirinya, norma masyarakat dan nilai agama yang harus dipegang teguh. Sementara mereka berjalan sendiri tanpa kawan. Orang tua hingga saat ini masih sulit untuk menjadi kawan seiiring remaja untuk masalah seksualitas. Karena banyak orang tua yang masih bingung akan apa yang mereka perbuat. Kebingungan itu meliputi informasi apa yang apntas diberikan padda remaja, dan bagaiman cara memulainya dan lain-lain. Kompleksitas masalah ini sering menempatkan remaja pada situasi yang sulit. Karenanya tidak lagi bisa dihindari meningkatnya jumlah remaja yang berhubungan seks sebelum nikah, mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, melakukan aborsi dan terkena IMS.

2.      Kebijakan yang berlaku
            Kejadian IMS pada remaja disebabkan juga karena kurangnya akses terhadap pelayanan dan program. Remaja tidak punya atau memiliki sedikit uang untuk membayar pelayanan, kurang sarana transportasi atau tidak tahu bagaimana menggunakan pelayanan tersebut.
            Upaya pemberian pendidikan seks sendiri di Indonesia masih banyak ditentang, bahkan di dunia internasional pun masih merupakan perdebatan dua pendapat. Pandangan yang kurang setuju dengan pendidikan seks mengkhawatirkan bahwa pendidikan seks yang diberikan pada anak remaja akan mendorong mereka melakukan hubungan seks lebih dini dan melakukan promiskuitas. Sementara pandangan yang setuju pada pendidikan seks beranggapan dengan semakin didi mereka mendapatka informasi, mereka akan lebih siap menghadapi perubahan yang terjadi pada tubuhnya dan mampu menghindarkan diri dari kemungkinan yang bisa terjadi, misalnya tertular IMS.
            Pelayanan kesehatan reproduksi remaja, Indonesia Sehat 2010 memiliki target menurunkan prevalensi permasalahan remaja secara umum, termasuk anemia pada remaja, dan target agar remaja mendapat akses pelayanan kesehatan reproduksi remaja melalui jalur sekolah. Jika target itu hendak dipenuhi, tentu segala mekanisme pelaksanaan dan persiapan lintas sektoral perlu segera dilakukan. Jangan sampai target tersebut hanya menjadi hiasan semata, tanpa pertanggungjawaban yang jelas. Termasuk juga ketika korban remaja terus bertambah; diam-diam, tanpa terukur, tanpa terperhatikan karena instrumen pengukuran dan perlindungan legalnya saja tidak ada.
            Pemenuhan komitmen itu tidak berjalan sistematis dan menyeluruh, mengingat belum ada kebijakan yang memiliki daya penegakan hukum dan pelaksanaan yang terukur untuk mengintegrasikan hak remaja dalam memperoleh informasi, konseling, dan pelayanan kesehatan reproduksi.
            Hambatan Penyelenggaraan Harus diakui, di Indonesia memang kurang adanya komitmen dan dukungan pemerintah dalam bentuk kebijakan yang mengatur tentang pendidikan seksual dan reproduksi bagi remaja, terutama di tiap sekolah. Lemahnya kerja sama lintas sektor (Depkes-Depdiknas-Depsos) dan kecenderungan menganggap LSM sebagai pesaing sekaligus musuh pemerintah, menjadi hambatan penyelenggaraan program tersebut.
3.      Petugas/ pelayanan kesehatan
            Di segi pelayanan kesehatan, pelayanan kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana di Indonesia hanya dirancang untuk perempuan yang telah menikah, tidak untuk remaja. Petugas kesehatan pun belum dibekali dengan keterampilan untuk melayani kebutuhan kesehatan reproduksi para remaja. Jumlah fasilitas kesehatan reproduksi yang menyeluruh untuk remaja sangat terbatas. Kalau pun ada, pemanfaatannya relatif terbatas pada remaja dengan masalah kehamilan atau persalinan tidak direncanakan.
            Keprihatinan akan jaminan kerahasiaan (privacy) atau kemampuan membayar, dan kenyataan atau persepsi remaja terhadap sikap tidak senang yang ditunjukkan oleh pihak petugas kesehatan, semakin membatasi akses pelayanan lebih jauh, meski pelayanan itu ada.
Di samping itu, terdapat pula hambatan legal yang berkaitan dengan pemberian pelayanan dan informasi kepada kelompok remaja. Karena kondisinya, remaja merupakan kelompok sasaran pelayanan yang mengutamakan privacy dan confidentiality. Hal itu menjadi penyulit, mengingat sistem pelayanan kesehatan dasar di Indonesia masih belum menempatkan kedua hal tersebut sebagai prioritas dalam upaya perbaikan kualitas pelayanan yang berorientasi kepada klien
4.      Keluarga/ lingkungan
              Kita akui memang, norma adat dan nilai budaya leluhur yang masih dianut sebagian besar masyarakat Indonesia juga menjadi tantangan terbesar dalam penyelenggaraan pendidikan seksual dan reproduksi berbasis sekolah.
              Semisal masih banyaknya pendapat, permasalahan seks itu tabu untuk dibicarakan kepada mereka yang belum menikah; dengan pendidikan seks, justru akan meningkatkan kasus-kasus seperti kehamilan di luar nikah, aborsi, dan IMS, termasuk HIV/AIDS. Padahal, berbicara seksual bukan sebatas intercourse melainkan banyak hal yang harus diketahui, mulai dari organ kelamin, perihal kontrasepsi atau KB, sampai dengan bagaimana seorang wanita melahirkan. Oleh karena itu, kaum muda atau remaja jangan lagi ditabukan dengan seks dan reproduksi; hal itu malah akan memancing rasa kepenasaran mereka yang berakhir pada perilaku seksual yang tidak sehat dan tidak bertanggung jawab.
              Indonesia memang tidak mungkin dibandingkan dengan negara-negara Eropa dan negara-negara Amerika Serikat dalam hal perkembangan teknologi dan informasi kesehatan, termasuk kesehatan seksual dan reproduksi. Tetapi, jika yang menjadi kompetitornya adalah Malaysia yang sejak 1979 telah mendirikan Youth Advisory Center dan Filipina dengan Developing Programme and Life Education, kita masih amat tertinggal.  Langkah Awal Pilihan dan keputusan yang diambil seorang remaja sangat bergantung kepada kualitas dan kuantitas informasi yang mereka miliki, serta ketersediaan pelayanan dan kebijakan yang spesifik untuk mereka, baik formal maupun informal
3.2  Upaya yang sudah dilakukan untuk mengatasi IMS di kalangan remaja
Permasalahan yang diahadapi oleh remaja membutuhkan perhatian dari banyak piahak. Hasil dari konferensi internasional mengenai kependudukan dan pembangunan (ICPD) mendorong pemerintah dan LSM untuk mengembangkan program yang tanggap terhadap permasalahan remaja.
Kegiatan pelayanan yang mendapat perhatian ICPD, adalah (Outlook, 2000):
1.      Informasi dan konseling KB
2.      Pelayanan klinis bagi remaja yang melahirkan dan remaja dengan anaknya
3.      Konseling yang berkaitan dengan hubungan antar gender, kekerasan perilaku seksusl yang bertanggung jawab dan penyakit menular seksual
4.      Pencegahan dan perawatan terhadap penganiayaan seksual (sexual abuse) dan hubungan seksual sedarah (incest)
Sebagai tindak lanjut dari komitmen tersebut, pemerintah mengembangkan dan mengimplementasikan program KRR. Selama kurun waktu satu dekade, program tersebut mengalami beberapa perkembangan sebagai berikut:
1.      Tahun 1994-1995
Penyediaan materi konseling kesehatn remaja dan peleyanan konseling di puskesmas melalui UKS, namun program ini belum youth friendly serta tidak melibatkan partisipasi remaja.
2.      Tahun 1996
Pemerintah menyelenggarakan lokakarya nasional kesehatn reproduksi dengan melibatkan beberapa sektor terkait (LSM, profesi, akademisi, donor). Dalam lokakarya tersebut disepakati antara lain bahwa pelayanan KR dilaksanakan secara integratif dalam paket PKRE. Salah satu komponen dari paket tersebut adalah kesehatan reproduksi remaja.
3.      Tahun 1997-1998
Pengembangan pelayanan kesehatan remaja di puskesmas dengan pendekatan kemitraan dengan sektor terkait (BKKBN, depdiknas, depag, depsos) dilakasanakan di jawa timur dan jawa tengah. Sejumlah materi KIE dikembangkan (modul, buku saku). Nmaun program ini belum berhasil mempengaruhi remaja untuk memanfaatkan puskesmas dan fasilitas kesehatan lainnya secara optimal.
4.      Tahun 2000
Pengembangan pelayanan kesehatn remaja dengan pengenalan komponen YOUTh Friendly Health Services (YFHS), mulai terbentuk tim KRR diberbagai tingkatan (propinsi, kabupaten/ kota, kecamatan dan puskesmas) sampai tahun 2011 telah tersosialisasi ke 10 propinsi. Sebagaimana program sebelumnya, program ini juga tidak berjalan baik.
5.      Tahun 2002
Perkenalan program peleyanan kesehatn reproduksi remaja (PKPR) dengan puskesmas diberikan kelkeluasaan berininovasi untuk meningkatkan akses remaja melelui pendekatan UKS, karang taruna, dan anak jalanan maupun kegiatan remaja potensial lainnya. Remaja dilibatkan secara aktif mulai perencanaan sampai evaluasi. Program ini juga mulai membina jejaring kerja dengan LSM, swasta dan profrsi. Beberapa buka panduan untuk remaja turut dikembangkan, walaupun sayangnya tidak didesiminasi secara luas.
6.      Tahun 2003
Departemen kesehatan meluncurkan website tentang informasi kesehatan remaja (Lincah.com). tapi ini juga tidak efektif mengingat tidak semua remaja bisa mengakses internet.
7.      Tahun 2004
Perluasan jangkauan dan pemantapan program PKPR berupa penigkatan ketrampilan petugas, pengembangan pedoman perencanaan PKPR tingkat kabupaten/ kota serta dilakukan penyempurnaan kebijakan dan strategi nasional kesehatn remaja di Indonesia.
Dalam penyempurnaan kebijakan dan strategi naisonal tentang KRR, remaja tidak lagi diberi akses terhadap pelayanan kesehatan melainkan hanya pelayanan informasi. Mengingat remaja saat ini suadh terpapar dengan derasnya arus globalisasi teknologi seperti majalah, TV/ film, internet, dampak buruknya tentu saja bisa mempengaruhi kondisi kesehatan reproduksisnya. Kompleksitas masalah KR yang dihadapi oleh remaja, hanya pemberian informasi tidak lagi mencukupi. Remaja juga perlu mendapatkan akses terhadap pelayanan kesehatan yang privacy dan non judgmental. Pengalaman menunjukkan bahwa kombinasi dari berbagai pendekatan seringkali paling efektif dalam menjangkau kelompok remaja. Namun hanya sedikit program yang dievaluasi secara seksama berkaitan dengan dampak atau hasil akhirnya.
3.3  Rencana upaya yang akan dilakukan
1.      Individu yang bersangkutan/ korban
Sebagai langkah awal pencegahan, peningkatan pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi harus ditunjang dengan materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang tegas tentang penyebab dan konsekuensi perilaku seksual, apa yang harus dilakukan dan dilengkapi dengan informasi mengenai saranan pelayanan yang bersedia menolong seandainya telah terjadi kehamilan yang tidak diinginkan atau tertular ISR/PMS.
Pencegahan infeksi menular seksual terdiri dari dua bagian, yakni pencegahan primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer terdiri dari penerapan perilaku seksual yang aman dan penggunaan kondom. Sedangkan pencegahan sekunder dilakukan dengan menyediakan pengobatan dan perawatan pada pasien yang sudah terinfeksi oleh infeksi menular seksual. Pencegahan sekunder bisa dicapai melalui promosi perilaku pencarian pengobatan untuk infeksi menular seksual, pengobatan yang cepat dan tepat pada pasien serta pemberian dukungan dan konseling tentang infeksi menular seksual dan HIV.
Upaya promotif
1.       Pendidikan seks yang tepat untuk mengikis ketidaktahuan tentang seksualitas dan IMS.
2.       Meningkatkan pemahaman dan pelaksanaan ajaran agama untuk tidak berhubungan seks selain pasangannya.
Upaya preventif
1.       Hindari hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan atau dengan pekerja seks komersial (WTS).
2.       Bila merasa terkena IMS, hindari melakukan hubungan seksual.
3.       Bila tidak terhindarkan, untuk mencegah penularan pergunakan kondom.
4.       Memberikan penyuluhan dan pemeriksaan rutin pada kelompok risiko tinggi.
5.       Penyuluhan dan pemeriksaan terhadap partner seksual penderita IMS.
Upaya kuratif
1.      Peningkatan kemampuan diagnosis dan pengobatan IMS yang tepat.
2.      Membatasi komplikasi dengan melakukan pengobatan dini dan efektif baik simtomatik maupun asimtomatik.
Upaya rehabilitatif
1.      Memberikan perlakuan yang wajar terhadap penderita IMS, tidak mengucilkannya, terutama oleh keluarga dan partnernya, untuk mendukung kesembuhannya.
2.      Kebijakan yang berlaku
Promotif
1)      Pemerintah di semua level, harus menempatkan isu-isu kesehatan reproduksi remaja menjadi prioritas utama dalam penyusunan kebijakan. Kebijakan yang dihasilkan harus dapat memastikan remaja memperoleh hak-hak kesehatan reproduksinya.
Preventif
2)      Departemen Kesehatan, juga Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Pelibatan Depdiknas penting artinya, karena dengan masuknya pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi ke dalam kurikulum sekolah remaja mendapat akses yang terprogram secara bertahap dan dapat dipertanggungjawabkan.
3)      Media Massa harus ikut bertanggung jawab dalam memberikan informasi dan pengetahuan kesehatan reproduksi dan seksual bagi remaja bukan malah membuat posisi remaja semakin sulit dalam menjalani hak-hak kesehatan reproduksinya akibat banyaknya informasi yang menyesatkan.
4)      Membuka ruang dan akses bagi remaja untuk berpartisipasi dalam proses-proses pengambilan keputusan menyangkut kebutuhan remaja akan hak-hak kesehatan reproduksi dan seksualnya. Banyak program pemberdayaan remaja yang dilakukan selama ini tidak direspon secara positif oleh remaja, karena remaja tidak dilibatkan dalam proses-proses pengambilan keputusan menyangkut kebutuhannya.
Kuratif
Pemerintah hendaknya meningkatkan program untuk mengatasi masalah IMS pada remaja sehingga bisa dilakukan diagnosa dini dan penanganan  yang optimal untuk pengobatan IMS pada remaja
Rehabilitatif
Pemerintah harus memberikan perlakuan yang wajar terhadap penderita IMS, tidak mengucilkannya,  untuk mendukung kesembuhannya.Hal ini bisa dilakukan dilakukan dengan membuat suatu program/ perkumpulan remaja mantan IMS dimana program tersebut berisi tentang informasi tentang kespro, pemberian ketrampilan sehingga nanti diharapkan remaja tersebut bisa kembali ke lingkungan dengan percaya diri dan bisa memberikan informasi kepada remaja lain tentang kespro.
3.      Petugas/ pelayanan kesehatan
Promotif
Adanya penyuluhan dari tenaga kesehatan tentang kesehatan reproduksi yang benar sehingga mereka akan lebih mengerti tentang kesehatan reproduksinya dan tidak akan penasaran untuk melakukan seks bebas yang akhirnya akan menderita IMS.
Preventif
Pelayanan kesehatan reproduksi di jasa pelayanan kesehatan yang terjangkau remaja sehingga remaja tidak akan kesulitan memperoleh informasi tentang kespro.
Kuratif
Petugas/ pelayanan kesehatan harus dapat memberikan pelayanan yang bermutu sehingga IMS pada remaja dapat ditangani dengan tepat dan tidak sampai terjadi komlpikasi yang tidak diinginkan.
Rehabilitatif
Petugas kasehatan harus selalu memantau kesehatan remaja dan memberikan perlakuan yang wajar terhadap penderita IMS, tidak mengucilkannya,  untuk mendukung kesembuhannya
4.      Keluarga/ lingkungan
Promotif
Keluarga dan masyarakat harus mulai membuka diri terhadap Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual. Sikap keluarga dan masyarakat yang selama ini apriori dan ketakutan, jika remaja mendapat pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas akan semakin mendorong mereka melakukan seks bebas harus dihilangkan. Sebab, dari banyak penilitian dan pengalaman berbagai pihak yang secara intensif memberikan informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual kepada remaja secara benar, mampu merubah perilaku seksual remaja untuk semakin bertanggungjawab. Penelitian dan pengalaman banyak pihak, mentabukan pendidikan seks di keluarga dan masyarakat semakin tidak dapat menyelesaikan masalah. Sebab, semakin pendidikan seks di tabukan, semakin mendorong remaja untuk ’ingin tahu dan ingin mencoba’. Sebab, faktanya remaja semakin mudah mendapatkan akses seksualitas yang menyesatkan melalui berbagai media electronik ( lihat di internal, puluhan jenis situs pornografi yang menyajikan rangsangan seksual remaja dapat dengan mudah diakses oleh remaja).
Preventif
Pemberian informasi tentang kespro kepada orang tua dan masyarakat sehingga diharapkan mereka bisa memberikan informasi kepada anak/ remaja dimana orang tua dan masyarakat merupakan orang yang dipercaya dan menjadi panutan bagi remaja. Hal ini bisa dilakukan dengan adanya program desa siaga dimana disitu terdapat poskesdes dan anggotanya merupakan kaderisasi dari masyarakat sehingga remaja akan lebih mudah berkomunikasi dengan mereka.
Kuratif
Keluarga dan masyarakat
Dengan adanya poskesdes tersebut remaja yang terkena IMS dapat segera diberikan pengobatan yang tepat sehingga tidak terjadi komplikasi.
Rehabilitatif
Keluaraga dan masyarakat harus memberi dukungan kepada remaja yang terkena IMS sehingga mereka merasa tidak dikucilkan dan tetap menjadi bagian dari masyarakat yang utuh.


BAB IV
KESIMPULAN

4.1  Kesimpulan
Terjadinya berbagai peningkatan kasus, IMS dikalangan remaja, disebabkan karena kesehatan reproduksi remaja di Indonesia sampai saat ini belum mendapat perhatian yang optimal dari orang tua, tokoh agama dan pemerintah. Remaja baik di kota maupun desa masih mengalami kesulitan untuk mendapatkan akses informasi, pendidikan dan pelayanan berkaitan dengan Kesehatan Reproduksinya. Sementara, disisi lain perkembangan teknologi informasi yang menyajikan berbagai informasi pornografi mudah diakses oleh remaja, sehingga mendorong remaja untuk melakukan hubungan seks bebas..
Untuk meningkatkan pengetahuan remaja terhadap kesehatan reproduksi dan seksual, sehingga remaja mampu membuat keputusan terhadap kebutuhan dan hak-hak reproduksinya secara sehat, aman dan bertanggungjawab, diperlukan langkah-langkah taktis dan strategis melalui pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan. Berkaitan dengan membuka akses informasi, pendidikan dan pelayanan kesehatan reproduksi bagi remaja diperlukan dukungan dari berbagai pihak, seperti; orang tua dan tokoh agama dan perhatian serta keseriusan dari pemerintah di semua level. Pembagian peran dan tanggung jawab berkaitan dengan membuka akses dan pelayanan terhadap remaja agar mereka dapat menjalani hak-hak kesehatan reproduksinya secara bertanggungjawab


DAFTAR PUSTAKA


Departeman Kesehatan RI. 2006. Kesehatan reproduksi modul mahasiswa.  Jakarta: Depkes RI





Murtiastutik Dwi. 2008. Infeksi Menular Seksual. Surabaya: Airlangga University Press

Klick «« Artikel Selengkapnya »»
 

About this Blog »

Kata Mutiara Ibunda

Pengikut

Copyright © 2010 - All right reserved by Midwifery | Template design by Herdiansyah Hamzah | Published by h4r1
Proudly powered by Blogger.com | Best view on mozilla, internet explore, google crome, flock and opera.